Minasanews.com,Surabaya- Usaha rokok memang mempunyai segmen pasar tersendiri dikalangan masyarakat, oleh karenanya pada saat pandemi covid 19 beberapa usaha mengalami kolaps maka tidak halnya dengan industri rokok yang tetap bergeliat karena sudah memiliki segmen pasar sediri/pelanggan.
Namun demikian usaha rokok diatur sangat ketat dan rumit oleh pemerintah karena pandangan negara terhadap rokok disatu sisi merugikan kesehatan namun disisi lain juga sebagai sumber pemasukan negara yang sangat besar dari cukai dan PPN. Hal tersebut diungkapkan oleh Sulami Bahar Ketua Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya.
Dengan sumbangan terhadap pemasukan negara yang sangat besar yang pada 2023 ditargetkan mencapai 232,5 triliun, hendaknya pemerintah dapat bekerjasama dan mencari solusi permasalahan yang dihadapi para pengusaha dilapangan. Dan yang terpenting bahwa perusahaan rokok yang berkonsep padat karya harus dilindungi karena disitu sebagai tumpuan penghidupan karyawan yang jumlahnya sangat banyak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi tembakau di Indonesia mencapai 236.900 ton pada 2021. Angka tersebut turun 9,374 dari tahun sebelumnya yang sebesar 261,4 ribu ton.
Jawa Timur menjadi provinsi penghasil tembakau terbesar di tanah air mencapai 110.800 ton. Ini sejalan dengan luas area perkebunan tembakau yang mencapai 101.800 hektare (ha). Kabupaten Jember merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil tembakau di provinsi ini, Jumlah produksi tembakau di Jember mencapai 24.285 ton pada 2021.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, produksi rokok di Indonesia mencapai 323,9 miliar batang pada 2022. Jumlah tersebut menurun 3,26% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 334,8 miliar batang.
Penurunan produksi rokok dalam negeri pada 2022 salah satunya disebabkan oleh kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Berdasarkan data Kemenkeu, harga rokok di Indonesia sebesar Rp23.361 per bungkus (isi 16 batang) pada tahun ini.
Nilainya meningkat 13,8% dari tahun sebelumnya sebesar Rp20.523 per bungkus. Indeks kemahalan rokok pun meningkat tipis menjadi 12,2% pada tahun ini.
Produksi rokok diperkirakan semakin menurun pada tahun depan. Pasalnya, pemerintah kembali menaikkan tarif cukai rokok sebesar 10% pada 2023 dan 2024. Secara rinci, rata-rata kenaikan tarif CHT untuk sigaret kretek mesin (SKM) I dan II sebesar 11,5%-11,75%. Tarif CHT untuk golongan sigaret putih mesin (SPM) I dan II meningkat 11%-12%. Sementara, sigaret kretek pangan (SKP) I, II, dan III akan mengalami kenaikan tarif CHT sebesar 5%.
Sulami Bahar selaku ketua Gapero Surabaya menyarankan agar kebijakan yang diambil pemerintah harusnya dapat melindungi perusahaan rokok yang berkonsep padat karya dan bukan padat modal, karena disitulah bentuk kehadiran negara mencarikan solusi terbaik.
Terkait akan dilanjutkannya kebijakan simplifikasi terhadap tarif Sigaret Kretek Tangan (SKT) dirinya berpandangan bahwa kebijakan itu akan sangat memberatkan pelaku usaha terutama yang berkonsep padat karya, rendah modal dan kategori UMKM.
“Perusahaan rokok kecil yang rata-rata memproduksi rokok jenis kretek (SKM) akan banyak yang gulung tikar apabila simplifikasi dilanjutkan, karena mereka dipaksa naik golongan oleh peraturan dan bukan kemampuan kapasitas produksi, hal tersebut akan berimbas ke PHK karyawan” ujar Sulami Bahar.
Simplifikasi yang sudah dijalankan saat ini sudah cukup memberatkan bagi pelaku usaha dan apabila akan diadakan penyederhanaan tarif lagi, maka akan semakin berat bagi pelaku usaha rokok kecil menengah berkonsep padat karya, dan itu hendaknya menjadi kajian serius pemerintah karena dampak sosial yang timbul akan sangat luas. Dan dari aturan- aturan yang memberatkan itu maka yang paling di untungkan adalah pengusaha rokok illegal.
Selain itu Sulami Bahar juga meminta pemerintah menghapusPasal 154-158 dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini sedang digodok DPR bersama pemerintah tingkat nasional.
Sulami Bahar menyampaikan kekhawatirannya terkait RUU Kesehatan tersebut karena akan memengaruhi komoditas tembakau di Indonesia. Dalam Pasal 154-158, menurutnya berpotensi mematikan industri hasil tembakau (IHT).
“Mazhab kesehatan jangan mengalahkan mazhab ekonomi, Keduanya ini penting. Ini harus ada titik temunya, harus ada pencegahan tidak berkembangnya preferensi rokok. Ini harus dievaluasi dulu dan perlu pengawasan-pengawasan,” katanya, di Surabaya, minggu(11/6/2023).
Menurutnya, mazhab ekonomi juga sangat penting. karena hal tersebut sangat mempengaruhi dengan kehidupan petani-petani tembakau. “Rokok ini turunannya banyak sekali, mulai dari pedagang asongan sampai dengan petani, dan ini yang harus dipikirkan oleh teman-teman dewan,” lanjut Sulami.
Sulami Bahar selaku Ketua Gapero Surabaya juga menekankan dari sisi kesehatan, dia meminta pemerintah untuk mengatur regulasi para perokok agar tidak merugikan lingkungan sekitar.
“Kalau dari segi kesehatan, kan bisa diatur bagaimana mencegahnya. Artinya kalau di kawasan perkantoran, harus menyiapkan smoking area. Ini yang harus diperhatikan DPR. Ini semua bisa dijembatani melalui pengawasan. Contoh pengawasannya, tidak menjual rokok di area dekat sekolah dan pembatasan umur perokok, ini sudah diawasi atau belum,” tambah Sulami Bahar.
“Kami dari pengusaha tokok pada prinsipnya mendukung optimalisasi penerimaan negara dari Industri rokok untuk menunjang pembangunan nasional, disisi lain pemerintah harus mencari solusi terbaik karena industri rokok ini adalah industri legal yang menjadi tumpuan hidup bagi banyak.” pungkas Sulami Bahar.