Eksistensi Suku Bajau
Minasanews.com,Morowali- Di ujung selatan Morowali terdapat satu suku yang akrab dengan laut. Ialah Suku Bajau yang biasa juga di sebut suku Sama. Namun sejarawan Prof. AB Lapian menamai suku bajau sebagai orang laut (dalam buku “Orang laut, Bajak laut, Raja laut”). Itu karena Suku Bajau adalah suku yang sumber kehidupannya di laut. Suku Bajau mendiami lautan lebih lama di banding daratan.
Kalian pernah mendengar Suku Bajau sebelumnya?
Tentulah pernah. Sekiranya jika kalian tidak pernah mendengan nama Suku Bajau maka sungguh terasinglah Suku ini dalam pengetahuan bangsa dan negara ini. Suku Bajau telah berpetualang di seluruh lautan Nusantara bahkan mungkin Asia. Sebab Suku Bajau juga terdapat di Malaysia dan Filipina.
Bahkan hingga hari ini perdebatan soal asal usul Suku Bajau dikalangan para sejarawan belum juga usai. Salah satu penyebabnya kurangnya literatur tentang jejak suku ini. Semoga saja semua itu bukan karena kurangnya perhatian negara terhadap sejarah.
Transformasi keyakinan Suku Bajau
Dahulu Suku Bajau meyakini bahwa ada nilai spritual pada lautan sehingga mereka bersandar pada sang penguasa lautan. Namun kini keyakinan itu bertransformasi setelah mereka memeluk Islam.
Jika dahulu dalam keyakinan Suku Bajau menganggap Laut memiliki Penguasa secara spiritualis dalam perspektif bukan Islam. Kini setelah mereka memeluk Agama Islam telah berubah menjadi sebuah keyakinan bahwa Lautan adalah salah satu ciptaan Tuhan yang memiliki kekayaan sumber kehidupan bagi manusia dan mahluk hidup lainnya.
Suku Bajau sanggup untuk hidup berhari hari bahkan berminggu minggu di lautan. Bagi Suku Bajau daratan hanya sebagai tempat peristrahatan sementara kala tiba waktunya untuk menukar hasil laut dengan kebutuhan hidup lainnya. Yang setelahnya mereka akan kembali ke lautan untuk kembali berkehidupan di sana.
Kini telah banyak yang tinggal menetap di pesisir. Walaupun masih ada yang berkehidupan seperti yang lalu lalu, tetapi kebanyakan telah hidup dan membangun rumah di pesisir pesisir pulau.
Demikian juga suku bajau yang berada di selatan Morowali. Telah banyak mengalami transformasi gaya hidup, namun sejauh apapun transformasi yang mereka alami, lautan tetaplah menjadi sumber kehidupan berharga bagi mereka.
Gempuran Industri dalam ruang hidup Suku Bajau di Selatan Morowali
Suku Bajau di morowali kebanyakan bermukim di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Bungku Selatan, Sombori Kepulauan (Kecamatan yang baru saja dimekarkan dari Kecamatan Menui Kepulauan) dan Menui Kepulauan.
Suku Bajau dan laut adalah sebuah kesatuan yang tak mungkin terpisahkan. Sebab sejarah dan tradisi suku bajau adalah tentang laut dan kehidupan yang mereka perjuangkan di dalamnya. Sulit untuk memisahkan dua hal itu. Makanya kelestarian laut merupakan hal penting dalam kehidupan Suku Bajau.
Sebagian besar Suku Bajau bertahan hidup dengan menjadi nelayan. tentu ada juga yang memilih bertahan hidup dengan pilihan lain tapi pastilah sangat sedikit, sebab keahlian suku bajau yaitu di lautan.
Silahkan saja kroscek di setiap desa di tiga kecamatan tersebut, kalian akan menemukan paling banyak kepala keluarga yang berprofesi Nelayan dibanding profrsi yang lain, sebab alam semesta telah membesarkan dan mendidik mereka bertahan hidup dengan cara itu.
Masa depan yang terancam
Namun akhir akhir ini kelestarian laut sudah mulai terancam. Sebab maraknya aktivitas pertambangan di pesisir Morowali yang mengabaikan pengelolaan pertambangan yang ramah lingkungan. Keabaian itu meyebabkan kehidupan suku bajau dan masyarakat pesisir dan pulau paulau kecilpun menjadi terancam. Bagaimana tidak aktivitas pertambangan di pesisir Morowali menghantarkan segala macam problem untuk kehidupan.
Sebut saja lautan yang tercemar akibat limbah industri pertambangan tersebut. Membuat ekosistem laut tak lagi sehat bagi kehidupan mahluk hidup di dalamnya yang berakibat pada terputusnya rantai ekosistem laut. Takheran bila nelayan begitu sulitnya mendapatkan hasil tangkap yang maksimal.
Bahkan beberapa nelayan penangkap ikan teri mengeluh karena sejak beberapa perusahaan pertambangan beroperasi di pesisir Morowali itu tidak jarang jaring tangkapan ikan para nelayan dipenuhi lumpur merah. Dan jika itu terjadi maka jangan harap mereka bisa mendapatkan hasil yang baik.
Tak hanya itu, aktivitas lalu lintas Kapal Tongkang yang lalu lalang di perairan tangkap juga turut menyumbang beberapa problem. Seperti kejadian yang di alami beberapa nelayan yang sedang memancing ikan dan gurita yang hampir saja tertabrak kapal tongkang. Karena tempat mereka menangkap ikan di jadikan jalur lalu lintas oleh tongkang tongkang pengangkut ore nikel tersebut.
Mereka juga tak lagi bisa membudidaya rumput laut seperti biasa, sebab segala ruang pencaharian mereka telah direnggut aktivitas pertambangan yang ada. Rumput laut takkan bisa tumbuh subur dengan kondisi lautan yang tercemar seperti itu.
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka kehidupan suku bajau dan masyarakat pesisir dan pulau paulau kecil di ujung selatan Morowali menjadi terancam di masa depan sebab ruang hidup mereka semakin hari semakin berkurang.
Olehnya pemerintah Daerah dan Pusat sebaiknya memikirkan hal ini. Segera ambil langkah konkrit terhadap perusahaan perusahaan yang metode pengelolaan pertambangannya tidak ramah lingkungan.
Sebab ini tentang ruang hidup manusia dan alam.