Minasanews.com – Reformasi Birokrasi merupakan salah satu agenda prioritas pemerintahan Jokowi-JK dan Jokowi-Ma’ruf Amin yang terdapat pada program Nawacita Presiden Jokowi.
Agenda prioritas tersebut tentu bertujuan mulia untuk menciptakan iklim kerja yang berdasarkan pada asas meritokrasi.
Siapa yang memiliki kompetensi maka orang tersebutlah yang akan mendapatkan suatu jabatan, bukan berdasarkan pada unsur Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang terjadi pada era Orde Baru. Namun demikian, selama hampir sembilan tahun kepemimpinan Presiden Jokowi agenda Reformasi Birokrasi yang ada dapat dikatakan belum efektif dilaksanakan. Selain karena unsur KKN yang masih terus bertahan, representasi pihak perempuan masih belum cukup diperhitungkan.
Secara keseluruhan, jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) perempuan yang tersebar di seluruh Indonesia memang lebih banyak yaitu sekitar 2.353.473 (54%) menurut data terbaru Buku Statistik ASN yang dirilis oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan-RB) per bulan Juni tahun 2022. Lebih banyak 8% daripada persentase ASN laki-laki yang berjumlah sekitar 1.991.079 (46%), Hanya saja perlu diperhatikan bahwa data tersebut di atas merupakan total jumlah ASN yang mencakup PNS, PPPK, karyawan honorer, petugas kebersihan, penjaga keamanan, atau pekerja tidak tetap lainnya.
Di sisi lain, ketika berbicara tentang pejabat negara dalam hal ini mereka yang menempuh jalur struktural (eselon II seperti Kepala Biro, Asisten Deputi, Kepala Dinas, Sekretaris Daerah, kemudian pejabat eselon I antara lain Deputi, Direktur Jenderal, Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Staf Ahli hingga pada tingkat Menteri), bukan fungsional semata, jumlah ASN perempuan yang mampu menjabat struktural pemerintahan masih relatif sedikit.
Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kementerian PAN-RB Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. menyebutkan bahwa pejabat eselon I perempuan di tingkat pusat di seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) yang ada di Indonesia memiliki persentase sebesar 18,02% per tahun 2022. Dengan kata lain, hanya sepertiga dari total 54% ASN perempuan yang dapat berperan merumuskan kebijakan publik. Persentase tersebut tentu belum cukup berimbang mengingat kualitas ASN perempuan yang dapat dikatakan tidak kalah dengan kualitas ASN laki-laki karena biar bagaimanapun perempuan juga mampu berkontribusi memberikan sumbangsih pemikiran yang substansial, bekerja keras sebagaimana layaknya laki-laki, menjadi karyawati teladan, menjadi role model bagi ASN lainnya, memimpin rapat, memimpin suatu instansi, melakukan diplomasi politik, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, pada implementasinya memang masih ditemukan beberapa kendala bagi perempuan untuk dapat melampaui laki-laki dalam konteks jabatan struktural birokrasi eselon I dan bahkan sampai pada tingkat menteri.
Kondisi ini biasa disebut dengan istilah “glass ceiling” yang pertama kali diperkenalkan oleh Marilyn Loden, seorang penulis, konsultan managemen, sekaligus pejuang kesetaraan gender di Amerika Serikat. Beberapa scholar lainnya seperti Baxter J., Wright E.O., Singh A.M., mencoba mengembangkan istilah tersebut tetapi dengan ide pokok yang sama bahwa glass ceiling merupakan suatu keadaan ketika terdapat suatu penghalang bagi perempuan untuk mendapatkan promosi ke level, jenjang, ataupun jabatan yang lebih tinggi, bahkan mencapai posisi puncak dalam suatu instansi yang apabila berhasil maka perubahan jabatan struktural yang ada dapat mengubah pula persepsi, cara pandang, serta komitmen dari mereka yang berada di posisi kepemimpinan.
Lebih lanjut, menurut Prof. D.A. Cotter, terdapat empat penyebab berkembangnya glass ceiling di masyarakat antara lain (1) masih kuatnya perspektif patriarki di mayoritas negara di dunia, (2) adanya pandangan bahwa laki-laki lebih bagus menjadi pemimpin bila dibandingkan dengan perempuan, (3) adanya kekhawatiran bahwa pada akhirnya perempuan akan mengendalikan laki-laki, (4) adanya tendensi perbedaan fasilitas, pembagian jobdesk pekerjaan, pembagian jam kerja antara perempuan dan laki-laki, serta (5) adanya stigma bahwa perempuan yang berkarier hanya cukup bekerja biasa-biasa saja dan lebih fokus mengurusi urusan domestik karena kaum laki-laki tidak pada hakikatnya mengurus urusan rumah tangga.
Penulis secara garis besar tidak setuju dengan keempat argumen di atas. Pertama, tidak ada satupun larangan baik tertulis maupun tidak tertulis yang menjadi penghambat perempuan untuk berkarier setinggi-tingginya. Kedua, fakta membuktikan bahwa telah banyak perempuan yang menjadi menteri bahkan presiden di dunia. Ketiga, perempuan juga dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang substansial. Keempat, apakah semua laki-laki sudah memberikan ide-ide yang brilian, tidak malas-malasan, bekerja keras, bersikap adil dan tidak diskriminatif terhadap perempuan? Kelima, bagaimana jika seorang perempuan-lah yang menjadi tulang punggung keluarga karena faktor perceraian ataupun sang suami telah meninggal dunia tetapi harus menghidupi, menyekolahkan anak-anaknya, membiayai sanak saudara lainnya, adik-adiknya, dan seterusnya? Oleh karena itu, melalui opini ini penulis bermaksud mendorong adanya keterwakilan pejabat perempuan yang lebih banyak dan berimbang sebab perempuan pun memiliki kompetensi, keahlian yang setara dengan laki-laki.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan bahwa pejabat perempuan-lah yang lebih rajin, ulet, teliti, gesit, lincah, dan cekatan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ada, handal bernegosiasi dan berdiplomasi maupun memiliki ide cemerlang yang sejalan dengan Agenda Reformasi Birokrasi Presiden Joko Widodo.
Penulis
Maurit Putera Pradita
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia