Minasanews.com, Makassar – Sekilas pesan ini terdengar klise karena selalu muncul dalam setiap kontestasi politik, termasuk pemilihan presiden (pilpres).
Tapi, jika melihat dinamika politik saat ini yang menjurus pada kompetisi pragmatis di antara pihak berbeda pilihan politik, maka pesan tersebut perlu didengungkan kembali.
Adalah wajar jika pemilu yang dalam realisme politik berujung pada perebutan kekuasaan selalu diwarnai dengan kerasnya persaingan politik. Tetapi, jangan sampai pertarungan yang muncul menabrak koridor etika dan aturan politik, apalagi hukum.
Dan jangan menjadikan pesta demokrasi ini sebagai arena konflik kekuasaan yang menjatuhkan satu sama lain.
Persoalan tersebut perlu digarisbawahi karena fakta-fakta tersaji saat ini bukan sekadar sebatas saling serang di antara tim sukses atau pendukung masing-masing pasangan calon presiden, tapi banyak diwarnai cacimaki dan bahkan saling fitnah melalui informasi hoaks.
Sejak Era Reformasi Indonesia sudah melewati beberapa kali pemilu demokratis. Bahkan negeri ini sudah menahbiskan diri sebagai salah satu negeri demokrasi terbesar di dunia.
Semestinya menghadapi Pemilu 2024 semua elemen bangsa mampu mendorong perkembangan kedewasaan berpolitik.
Bukan malah membiarkan pragmatisme mengendalikan politik, dan bahkan bersama-sama menjerumuskan demokrasi itu sendiri.
Harapan ini bisa terwujud jika aktor utama politik, tim kampanye, partai politik pendukung berkomitmen bersama-sama menjaga koridor etika dan aturan main politik yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, warna persaingan pilpres lebih didominasi adu gagasan dan program sehingga resonansi yang muncul di massa pendukung adalah rasionalitas, bukan emosionalitas.
Selanjutnya semua pihak menempatkan pemilu sebagai prosedur demokrasi lima tahunan biasa, bukan perebutan kekuasaan yang harus dibela dan diperjuangkan mati-matian dan di sisi lain menggunakan berbagai cara menghabisi lawan.
Jika variabel-variabel itu terwujud, pemilu akan menjadi pendidikan politik yang mencerdaskan masyarakat dan kian meneguhkan persatuan bangsa, bukan menghadirkan perpecahan.
Namun bila para elite dan pemilih berpandangan bahwa menang pemilu itu segalanya, maka kontestasi yang kompetitif itu tidak akan pernah tercapai.
Pasalnya, mereka menganggap pemilu sebagai pertaruhan martabat, harga diri, dan segalanya. Sebaliknya, pemilu bukan lagi kontestasi natural lima tahunan yang mengedepankan kompetisi yang kompetitif.
Dengan latar kondisi tersebut, tak heran jika saat ini diskursus di ruang publik yang dipenuhi dengan ujaran kebencian dan narasi-narasi provokatif kian marak.
Situasi tersebut diperparah dengan ulah elite yang memperkeruh suasana. Padahal, semestinya mereka menjadi penuntun dan pemandu pemilih, bukan malah menjadi medium provokasi.