Minasanews.com – Banyaknya pekerja migran di Indonesia yang didominasi oleh Perempuan, juga berdampak pada kerentanan mereka mengalami banyak tindak kekerasan. Badan Nasional Perlintasan Pekerja Migran (BP2MI), mencatat, pada Oktober 2022, jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) mencapai 24.088 dan 14.238 atau 59% pekerja migran adalah perempuan. Namun, apakah jumlah tersebut sudah mendapatkan jaminan perlindungan dari negara?.
Masalah Perempuan dan pekerja migran Indonesia merupakan permasalahan yang terus mengalami peningkatan jumlah pekerja setiap tahunnya, namun tidak disertai dengan jaminan perlindungan yang layak. Hal tersebut dikarenakan, kebanyakan perempuan pekerja migran Indonesia, bekerja di sektor informal, di mana pekerjaan mereka masih belum memiliki perlindungan hukum karena anggapan bahwa pekerjaan domestik bukanlah sebuah jenis pekerjaan yang layak mendapatkan perlindungan.Sebenarnya, Negara sudah memiliki undang-undang terkait pekerjaan Migran Indonesia. Berupa UU No.18 tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran yang membutuhkan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas serta sanksi administratif dan sanksi pidana.
Komnas perempuan mencatat sebanyak 813 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan pekerja migran mengalami tindak kekerasan sepanjang tahun 2016-2022. Kekerasan tersebut meliputi, kekerasan psikis, fisik dan seksual berupa pelecahan, pemerkosaan, pemaksaan pelacuran hingga Human Trafficking. Perampasan dokumen dan ancaman juga kerap dialami oleh perempuan pekerja migran. Bahkan, tak sedikit dari mereka mengalami pelanggaran hak maternitas seperti pemaksaan penggunaan kontrasepsi hingga larangan untuk hamil.
Pasal tentang tindak kekerasan terhadap perempuan sebenarnya juga sudah diatur pada pasal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam pasal 4 ayat 2 tahun 2022 yang menyatakan bahwa tindak pemerkosaan adalah tindak kekerasan seksual. Pasal 8 UU No.12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) memuat ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan/denda paling banyak 50 Juta bagi orang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi sehingga membuat kehilangan fungsi alat reproduksi untuk sementara waktu.
Seharusnya pasal-pasal dalam undang-undang yang telah disebutkan, mampu meminimalisir kekerasan yang dialami oleh perempuan pekerja migran. Namun, nampaknya dalam hal pelaksanaan, masih mengalami berbagai kendala, seperti masih banyaknya perempuan pekerja migran yang bekerja di luar negeri melalui cara yang ilegal atau tidak melalui perusahaan resmi sehingga sulit untuk mengidentifikasi identitas perempuan pekerja migran. Maka diperlukan pengawasan secara menyeluruh baik dari perusahaan jasa pemberangkatan pekerja migran dan negara tujuan pekerja migran. Sehingga tidak ada kesempatan bagi perusahaan jasa pemberangkatan pekerja migran maupun negara tujuan untuk melakukan perdagangan manusia dan beberapa tindakan yang merugikan perempuan pekerja migran.
Selain hal tersebut, Negara juga perlu memastikan kebijakan internasional terintegrasi dengan kebijakan nasional dan regional. Serta di level Legislatif, perlu adanya usaha mendorong agar disahkan RUU perlindungan pekerja rumah tangga. Karena, banyaknya perempuan pekerja migran, bekerja di sektor informal berupa pekerja rumah tangga. Lalu, ditataran akar rumput perlu adanya edukasi terhadap masyarakat terkait perlindungan pekerja, serta upaya meningkatkan kualitas sumber daya perempuan agar angka perempuan pekerja migran berkurang dan tidak terus mengalami peningkatan di setiap tahunnya.
Perempuan pekerja migran, menyumbang banyak devisa terhadap negara. Artinya, perempuan juga terlibat dalam pembangunan Negara Indonesia, maka sudah selayaknya Negara memberi perlindungan yang layak terhadap perempuan terutama perempuan pekerja migran yang rentan mengalami berbagai tindam kekerasan.
Penulis
M. Aqsha BS
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia