Oleh: Mayang Yustika
Cabang Makassar, Peserta LK III Badko HMI Sulselbar
Demonstrasi adalah sebuah gerakan sosial yang terungkap dalam wujud protes yang dilakukan oleh sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk pikiran massa ini adalah suatu tindakan protes sosial, biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan demi menyuarakan keresahan masyarakat, sebab aturan tertinggi dalam negara adalah solus Populi Supreme Lex (Kesejahteraan Rakyat adalah hukum tertinggi).
Kriminalisasi demonstran yang dilakukan oleh para tanker negara yang dalam hal ini aparat kepolisian kerap terjadi dalam sebuah gerakan protes sosial tersebut dapat menimbulkan berbagai pertanyaan normativitas dan perhatian sosial yang cukup serius terhadap peran dan fungsi aparat kepolisian. Apakah posisi kepolisian sebagai aparat penegak hukum berperan untuk memberikan proteksi pada rakyat dan berfungsi sebagai pelayan rakyat ataukah sebagai parasit yang mengobrak-abrik skala kehidupan sosial dan menciptakan kekeruhan suasana di tengah-tengah aksi protes sosial yang dilakukan oleh para demonstran?
Salah satu masalah yang sering muncul adalah non imparsialitas dari tindakan kepolisian yang berat sebelah dalam menangani demonstrasi. Para demonstran acapkali dijustifikasi sebagai para pelaku tindak kriminal sehingga para aksi massa sering babak belur oleh agresivitas kepolisian.
Sikap aparat kepolisian mirip seperti serigala yang menempatkan para aksi massa yang melakukan gerakan protes sosial tersebut laksana domba yang dicabik-cabik. Tindakan represif yang berlebihan, termasuk penggunaan kekerasan, penggunaan peluru karet, gas air mata, atau tangkapan massal tanpa alasan yang jelas, dapat menimbulkan kekhawatiran tentang pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian (Abuse of power).
Salah satu sifat fungsional dari hukum adalah mengkristalisasikan perlindungan hak asasi manusia. Dan salah satu dibangunnya lembaga penegak hukum termasuk Kepolisian adalah untuk melindungi hak asasi manusia bukan merobek-robek hak asasi Manusia.
Jika mengacu pada aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja tahun 2020. Pemantauan yang dilakukan oleh Amnesty International Indonesia, mengatakan setidaknya 402 korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama aksi tersebut. Terdapat banyak video dan kesaksian tentang kekerasan polisi yang beredar, kejadian itu mengingatkan kita terhadap kekerasan brutal yang dialami mahasiswa indonesia 22 tahun lalu pada akhir masa rezim Soeharto.
Seolah dimata para aparat kepolisian nilai dari hak asasi manusia tersebut setara dengan harga nasi bungkus yang sepuluh ribu, sehingga dengan brutalitasnya membantai para mahasiswa yang menyatakan pendapatnya dimuka umum untuk melakukan gerakan protes sosial.
Demonstrasi merupakan salah satu bentuk ekspresi dan partisipasi politik yang dituangkan dalam bentuk protes sosial dan dijamin oleh konstitusi dan dilegitimasi oleh hukum serta sebagai bentuk pengungkapan Terhadap pelaksanaan terhadap nilai dari hak asasi manusia.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum sebagai tindakan protes sosial jelas mendapatkan legitimatif normativitas sebagaimana yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1998, Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia, UUD 1945 pasal 28 juga Deklarasi Universal Hak asasi manusia (DUHAM) yang menegaskan bahwa “kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang- Undang”.
Kedaulatan berpikir, kemandirian bertindak, serta Kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat dimuka umum sebagai tindakan protes sosial dalam upaya untuk mengucapkan pikirannya baik secara lisan maupun diungkapkan melalui tulisan merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebab bangsa yang beradab adalah bangsa yang menghormati hukum sebagai panglima tertinggi dalam sebuah negara dan melindungi hak asasi manusia sebagai nilai utama terhadap pengejawantahan terhadap nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib dan damai. Hak menyampaikan pendapat dimuka umum secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Saran
Aparat kepolisian sebagai penegak hukum adalah tiang utama dari terjaminnya perlindungan terhadap hak asasi manusia dan icon terpenting dalam menegakkan supremasi hukum. Bukan tiang utama yang memprovokasi para demonstran yang melakukan aksi protes sosial dan melecehkan harkat dan martabat kemanusiaan melalui tindakan agresivitas dan represifitas, bukan pula sebagai icon yang menegakan hukum sesuai selera untuk melumpuhkan hak asasi manusia yang lebih khususnya mencacatkan aksi gerakan protes dari rakyat.
Secara normativitas aparat kepolisian jika ditelusuri dari aspek yuridisnya sesuai dengan UUD 1945 pasal 30 ayat 4 Jo UU nomor 2 Tahun 2002 bahwa tugas Utama aparat kepolisian sebagai penjaga keamanan dan ketertiban adalah untuk melindungi rakyat bukan untuk melecehkan hak asasi rakyat melalui tindakan agresivitas dan represifitas.
Selanjutnya untuk mengayomi rakyat bukan untuk membuat gap dan permusuhan dengan rakyat, lalu untuk melayani rakyat dengan cara yang damai bukan melayani rakyat dengan senapan atau gas air mata, serta untuk menegakkan hukum bukan untuk menjadikan hukum sebagai pak turut bagi kepentingan tindakan kekerasan dari aparat kepolisian.
Oleh karena itu polisi yang baik dan tertib adalah polisi yang sadar diri dan paham akan tugasnya, bukan polisi yang tidak tau diri yang memanfaatkan kekuasaannya sebagai alat untuk melecehkan hak asasi manusia. (Mayang Yustika)
Editor : Khalil